Batam
(ANTARA News) - Jumlah pengunjung Pantai Tanjung Bemban di Nongsa, Kota Batam,
terus menyusut akibat pencemaran lumpur dari penambangan pasir darat ilegal di
sekitar kawasan tersebut.
"Dulu setiap hari libur ada ribuan wisatawan yang datang ke pantai ini untuk main air atau sekedar menikmati pemandangan. Namun sejak air laut keruh akibat tercemar lumpur penambangan pasir jumlahnya terus berkurang. Sekarang sepi, tidak sampai ratusan," kata warga Tanjung Bemban, Saleh, di Batam, Jumat.
Ia mengatakan, kalaupun ada yang datang setelah mengetahui kondisi air keruh mereka langsung meninggalkan lokasi.
"Penambangannya sudah berlangsung bertahun-tahun. Lumpurnya sudah sedalam lutut orang dewasa. Tidak mungkin lagi pengunjung main air di pantai," kata dia.
Warga mengatakan, sudah beberapa kali melaporkan hal tersebut ke Dinas Pariwisata Kota Batam dan Dinas Kelautan Perikanan (Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan Kota Batam) namun tidak ada respon.
"Kalau yang berwenang saja tidak peduli kami bisa apa. Meskipun kami tidak bisa lagi mencari ikan di situ, kami pasrah," kata Saleh.
Pantauan Antara, air laut dari Pantai Tanjung Bemban hingga beberapa ratus meter ke tengah sudah berwarna merah kecokelatan yang menunjukkan tingginya kandungan tanah dalam air.
Air laut yang keruh akibat lumpur juga terdapat pada wilayah lain yang berdekatan dengan Pantai Tanjung Bemban khususnya sekitar Nongsa.
Akibat pertambangan ilegal, terdapat sejumlah kubangan besar pada daratan sekitar Nongsa terutama yang berdekatan dengan pantai.
Proses penambangan pasir ilegal di lokasi tersebut dilakukan dengan menggunakan alat berat dan mesin penyemprot air besar sehingga mampu meruntuhkan bukit-bukit untuk diambil pasirnya.
Setelah bukit atau dataran yang lebih tinggi disemprot menggunakan air dari mesin-mesin bertekanan tinggi, pasir yang masih menyatu dengan tanah dialirkan ke lokasi yang lebih rendah.
Pada tempat penampungan, penambang memasang jaring untuk memisahkan pasir dengan tanah yang sudah menjadi lumpur dan dibiarkan mengalir terus ke laut.
Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam menilai maraknya tambang pasir ilegal karena tingginya permintaan akan salah satu bahan pokok bangunan tersebut.
"Permintaan untuk pembangunan, sementara pasir yang didatangkan dari luar Batam harganya jauh lebih mahal. Hal itulah yang memicu banyaknya penambang ilegal," kata Kepala Badan Pengndali Dampak Lingkungan Kota Batam Dendi Purnomo.
Ia mengatakan, setiap truk berisi sekitar empat meter kubik pasir dari luar Batam harganya selisih Rp400 ribu lebih mahal dibanding pasir lokal hasil tambang ilegal di Batam.
"Dengan kondisi tersebut bukan berarti kami hanya diam saja. Kami juga berupaya melakukan berbagai cara untuk penertiban, namun penambang baru selalu muncul lagi," kata dia.
"Dulu setiap hari libur ada ribuan wisatawan yang datang ke pantai ini untuk main air atau sekedar menikmati pemandangan. Namun sejak air laut keruh akibat tercemar lumpur penambangan pasir jumlahnya terus berkurang. Sekarang sepi, tidak sampai ratusan," kata warga Tanjung Bemban, Saleh, di Batam, Jumat.
Ia mengatakan, kalaupun ada yang datang setelah mengetahui kondisi air keruh mereka langsung meninggalkan lokasi.
"Penambangannya sudah berlangsung bertahun-tahun. Lumpurnya sudah sedalam lutut orang dewasa. Tidak mungkin lagi pengunjung main air di pantai," kata dia.
Warga mengatakan, sudah beberapa kali melaporkan hal tersebut ke Dinas Pariwisata Kota Batam dan Dinas Kelautan Perikanan (Dinas Kelautan Perikanan Pertanian dan Kehutanan Kota Batam) namun tidak ada respon.
"Kalau yang berwenang saja tidak peduli kami bisa apa. Meskipun kami tidak bisa lagi mencari ikan di situ, kami pasrah," kata Saleh.
Pantauan Antara, air laut dari Pantai Tanjung Bemban hingga beberapa ratus meter ke tengah sudah berwarna merah kecokelatan yang menunjukkan tingginya kandungan tanah dalam air.
Air laut yang keruh akibat lumpur juga terdapat pada wilayah lain yang berdekatan dengan Pantai Tanjung Bemban khususnya sekitar Nongsa.
Akibat pertambangan ilegal, terdapat sejumlah kubangan besar pada daratan sekitar Nongsa terutama yang berdekatan dengan pantai.
Proses penambangan pasir ilegal di lokasi tersebut dilakukan dengan menggunakan alat berat dan mesin penyemprot air besar sehingga mampu meruntuhkan bukit-bukit untuk diambil pasirnya.
Setelah bukit atau dataran yang lebih tinggi disemprot menggunakan air dari mesin-mesin bertekanan tinggi, pasir yang masih menyatu dengan tanah dialirkan ke lokasi yang lebih rendah.
Pada tempat penampungan, penambang memasang jaring untuk memisahkan pasir dengan tanah yang sudah menjadi lumpur dan dibiarkan mengalir terus ke laut.
Badan Pengendali Dampak Lingkungan Kota Batam menilai maraknya tambang pasir ilegal karena tingginya permintaan akan salah satu bahan pokok bangunan tersebut.
"Permintaan untuk pembangunan, sementara pasir yang didatangkan dari luar Batam harganya jauh lebih mahal. Hal itulah yang memicu banyaknya penambang ilegal," kata Kepala Badan Pengndali Dampak Lingkungan Kota Batam Dendi Purnomo.
Ia mengatakan, setiap truk berisi sekitar empat meter kubik pasir dari luar Batam harganya selisih Rp400 ribu lebih mahal dibanding pasir lokal hasil tambang ilegal di Batam.
"Dengan kondisi tersebut bukan berarti kami hanya diam saja. Kami juga berupaya melakukan berbagai cara untuk penertiban, namun penambang baru selalu muncul lagi," kata dia.
Editor: Ella Syafputri
Tanggapan/Pendapat :
Sangat disayangkan bahwa pihak yang berwenang belum juga merespon
berita terkait. Selayaknya manusia hidup berdampingan dengan alamnya, saling
menjaga. Kerusakan yang terjadi di pantai tersebut sekilas mungkin hanya
berakibat pada turunnya jumlah turis, namun dampak-dampak lainpun bisa saja
terjadi. Pendangkalan yang mengakibatkan hilangnya habitat fauna dan
sebagainya. Sangat disayangkan bila tidak ada instansi terkait yang peduli.
Berita : http://www.antaranews.com/berita/477224/tercemar-pantai-di-batam-sepi-kunjungan-turis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar