Rabu, 26 Maret 2014

                                KERIS DAN SEJARAH

Dari sekian banyak kebudayaan yang ada di Indonesia, salah satu yang menarik adalah Keris. Sebuah senjata tikam golongan belati, yang memiliki ujung runcing dengan kedua sisinya yang tajam. Keris mudah dikenal karena bentuknya yang khas, dimana bagian pangkal melebar dan berkelok-kelok serta memiliki pamor.
Selain sebagai senjata dalam bertarung, keris pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa merupakan senjata standar prajurit dan kewibawaan bagi para bangsawan. Bahkan menjadi ikon tersendiri bagi kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan itu. Sebagai contoh, Keraton Nyayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Yogyakarta, hingga saat ini masih menggunakan keris untuk raja baru. Keris yang dinamai Kyai Jaka Piturun itu merupakan simbol kekuasaan, sekaligus keabsahan seorang raja sehingga tanpa adanya keris tersebut, calon raja tidak bisa dilantik.
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada prasasti dari abad ke-9 Masehi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang, para ahli baru dapat meraba-raba.
Menurut G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya, kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya, menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937 berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya, bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.
Terlepas dari teori-teori yang ada mari kita bahas bagian-bagian dari sebuah keris. Keris terbagi menjadi tiga bagian utama, yakni bilah (wilahan), ganja, dan pesi. Sebagian buku kuno menyebutkan, bilah keris adalah lambang dari bentuk lingga (phallus) atau alat kelamin pria, ganja keris adalah lambang dari yoni, yakni alat kelamin perempuan. Sedangkan pesi adalah pemersatu antara lingga dan yoni. Menurut filsafat kuno, persatuan antara lingga dan yoni melambangkan kesuburan, kesinambungan, dan kekuatan.
BILAH keris atau wilah, atau wilahan, juga terbagi menjadi tiga bagian, yakni bagian pucuk, tengah atau awak-awak, dan bagian sor-soran atau bongkot. Ricikan atau komponen keris hampir seluruhnya menempai bagian sor-soran keris ini. Di Palembang, Riau, Malaysia, dan Brunei wilahan disebut awak keris. Panjang bilah keris yang normal, maksudnya keris Jawa, berkisar antara 33 sampai 37 cm, dan lebar ganjanya antara 8,5 cm bagian paling bawah dan sekitar 4 cm di bagian tengahnya. Di tengah bilah, membujur dari atas ke bawah, kadang kadang memakai ada-ada semacam tulangan penguat



Bentuk permukaan wilahan keris ada lima macam. Yang memakai ada-ada ada tiga macam, yaitu yang nggigir sapi atau nggigir lembu; yang ngadal meteng, dan yang ngeruwing. Sedangkan yang tidak memakai ada-ada, ada dua macam. Pertama adalah yang nglimpa, dan kedua yang rata.
Dilihat dari konturnya atau bentuk keseluruhannya, wilahan terbagi atas tiga macam, yakni yang mbambang atau nilam upih atau anggodong pohung, yang mucuk bung, dan yang nyujen.


Sedangkan di tinjau dari kemiringan posisi bilahnya terhadap garis ganja, dibagi tiga macam, yaitu yang condong, yang leleh, dan yang mayat.
Yang leleh lebih miring ketimbang yang condong. Sedangkan bilah keris yang mayat, adalah yang miring sekali.


GANJA adalah bagian bawah dari sebilah keris, seolah-olah merupakan alas atau dasar dari bilah keris itu. Pada tengah ganja, ada lubang untuk memasukkan bagian pesi. Bagian bilah dan bagian ganja dari sebilah keris, merupakan kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Beberapa pengamat budaya keris mengatakan bahwa bagian-bagian itu melambangkan kesatuan lingga dan yoni. Bagian ganja mewakili lambang yoni, sedangkan bagian bilah keris melambangkan lingganya. Dalam budaya lama, persatuan antara lingga dan yoni merupakan lambang kesuburan, kesinambungan, dan keabadian.
Bentuknya ganja sepintas lalu mirip dengan bentuk tubuh cecak atau tokek tanpa kaki. Bagian depannya mirip kepala cecak dan disebut sirah (kepala) cecak. Ujung sirah cecak, pada bagian yang agak meruncing, disebut cocor. Di belakang Sirah cecak ada bagian ganja yang menyempit seperti leher, lazim disebut gulu meled.
Begitu pula bagian perut dan ekor ganja, sebutannya selalu dikaitkan dengan bagian tubuh cecak. Bagian 'perut' ganja disebut wetengan, waduk, atau gendok, sedang bagian 'ekor' disebut buntut cecak.Tepat di tengah waduk, ada lobang bergaris tengah kira-kira 0,8 cm untuk jalan masuknya pesi keris. Pada keris buatan Palembang, lubang pesi ini lebih lebar, yakni sekitar 1 cm. Lubang ini, di arah endas cecak dan arah kepet, terdapat alur kecil, sebesar jarum, untuk tempat lalunya pantek atau sindik, yang membuat ganja itu rapat dengan pesinya.
Pada keris-keris jenis nom-noman pada bagian belakang ganjanya, persis di bawah wadidang, kadang-kadang dibuat tungkakan.
Ragam bentuk ganja ada beberapa macam, yakni ganja Sebit Rontal, Mbatok Mengkurep, Wuwung, Wilut (Welut), Dungkul, Sepang, dan Kelap Lintah. Ganja wuwung adalah bentuk ganja yang paling tua. Keris-keris tangguh Segaluh, Pajajaran, dan Tuban kebanyakan memakai ganja wuwung.  
KEMBANG KACANG, atau telale gajah, atau Sekar Kacang adalah nama bagian yang bentuknya. Di Semenanjung Malaya, Brunei, Serawak, Sabah, dan Palembang, Pontianak, serta Riau, bagian ini disebut belalai gajah.
Tanda panah: Bagian yang disebut kembang kacangKembang kacang, yang termasuk salah satu ricikan keris, ini selalu menempel pada bagian atas dan bagian atas dari bagian gandik, pada bagian depan sor-soran. Di bawah ketiak kembang kacang biasanya terdapat jalen. Di bawahnya sering kali terdapat lambe gajah dan jalu memet.
Tidak semua keris mempunyai kembang kacang. Banyak juga yang tidak. Keris yang tidak memakai kembang kacang disebut keris ber-gandik polos, atau ber-gandik lugas.
Walaupun secara umum bentuknya sama, tetapi kembang kacang mempunyai cukup banyak variasi bentuk, yaitu Nguku Bima,Pogok, Gula Milir, Malik atau Kuwalik, Bungkem, Nyunti atau Nggelung Wayang, dan Gatra. Kembang kacang yang patah atau putus, biasanya disebut pugut.

Dalam sejarah perkerisan, ricikan kembang kacang baru ada setelah zaman Segaluh, dan baru sempurna bentuknya pada keris-keris tangguh Jenggala. Keris tangguh Buda tidak ada yang memakai kembang kacang.
Keris-keris buatan Riau Kepulauan dan Semenanjung Malaya pun mempunyai beberapa ragam bentuk kembang kacang. Di sana, ragam bentuk kembang kacang yang disebut belalai gajah, ragam bentuknya terbagi atas: Saing, Kuku Ala, dan Lidah Tiang.
Selain itu, walau pun bentuk dasarnya sama, kembang kacang daerah satu tidak sama bentuknya dengan daerah satu dengan lainya.

Sumber :