KERIS DAN SEJARAH
Dari sekian banyak kebudayaan yang ada di
Indonesia, salah satu yang menarik adalah Keris. Sebuah senjata tikam golongan
belati, yang memiliki ujung runcing dengan kedua sisinya yang tajam. Keris mudah dikenal
karena bentuknya yang khas, dimana bagian pangkal melebar dan berkelok-kelok
serta memiliki pamor.
Selain sebagai senjata dalam bertarung, keris
pada masa kerajaan-kerajaan kuno di Pulau Jawa merupakan senjata standar
prajurit dan kewibawaan bagi para bangsawan. Bahkan menjadi ikon tersendiri
bagi kelangsungan hidup kerajaan-kerajaan itu. Sebagai contoh, Keraton
Nyayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Yogyakarta, hingga saat ini masih
menggunakan keris untuk raja baru. Keris yang dinamai Kyai Jaka Piturun itu
merupakan simbol kekuasaan, sekaligus keabsahan seorang raja sehingga tanpa
adanya keris tersebut, calon raja tidak bisa dilantik.
Asal-usul keris belum sepenuhnya terjelaskan
karena tidak ada sumber tertulis yang deskriptif mengenainya dari masa sebelum
abad ke-15, meskipun penyebutan istilah "keris" telah tercantum pada
prasasti dari abad ke-9 Masehi. Berbagai bangunan candi batu yang dibangun pada
zaman sebelum abad ke-10 membuktikan bahwa bangsa Indonesia pada waktu itu
telah mengenal peralatan besi yang cukup bagus, sehingga mereka dapat
menciptakan karya seni pahat yang bernilai tinggi. Namun apakah ketika itu
bangsa Indonesia mengenal budaya keris sebagaimana yang kita kenal sekarang,
para ahli baru dapat meraba-raba.
Menurut G.B. GARDNER pada tahun 1936 pernah
berteori bahwa keris adalah perkembangan bentuk dari senjata tikam zaman
prasejarah, yaitu tulang ekor atau sengat ikan pari dihilangkan pangkalnya,
kemudian dibalut dengan kain pada tangkainya. Dengan begitu senjata itu dapat
digenggam dan dibawa-bawa. Maka jadilah sebuah senjata tikam yang berbahaya,
menurut ukuran kala itu.
Sementara itu GRIFFITH WILKENS pada tahun 1937
berpendapat bahwa budaya keris baru timbul pada abad ke-14 dan 15. Katanya,
bentuk keris merupakan pertumbuhan dari bentuk tombak yang banyak digunakan
oleh bangsa-bangsa yang mendiami kepulauan antara Asia dan Australia. Dari mata
lembing itulah kelak timbul jenis senjata pendek atau senjata tikam, yang
kemudian dikenal dengan nama keris. Alasan lainnya, lembing atau tombak yang
tangkainya panjang, tidak mudah dibawa kemana-mana. Sukar dibawa menyusup masuk
hutan. Karena pada waktu itu tidak mudah orang mendapatkan bahan besi, maka
mata tombak dilepas dari tangkainya sehingga menjadi senjata genggam.
Terlepas dari teori-teori yang ada mari kita
bahas bagian-bagian dari sebuah keris. Keris terbagi menjadi tiga bagian utama,
yakni bilah (wilahan), ganja, dan pesi. Sebagian buku kuno menyebutkan, bilah
keris adalah lambang dari bentuk lingga (phallus) atau alat kelamin pria, ganja
keris adalah lambang dari yoni, yakni alat kelamin perempuan. Sedangkan pesi
adalah pemersatu antara lingga dan yoni. Menurut filsafat kuno, persatuan
antara lingga dan yoni melambangkan kesuburan, kesinambungan, dan kekuatan.
BILAH keris atau wilah, atau wilahan, juga
terbagi menjadi tiga bagian, yakni bagian pucuk, tengah atau awak-awak, dan bagian
sor-soran atau bongkot. Ricikan atau komponen keris hampir seluruhnya menempai
bagian sor-soran keris ini. Di Palembang, Riau, Malaysia, dan Brunei wilahan
disebut awak keris. Panjang bilah keris yang normal, maksudnya keris Jawa,
berkisar antara 33 sampai 37 cm, dan lebar ganjanya antara 8,5 cm bagian paling
bawah dan sekitar 4 cm di bagian tengahnya. Di tengah bilah, membujur dari atas
ke bawah, kadang kadang memakai ada-ada semacam tulangan penguat
Bentuk permukaan wilahan keris ada lima macam. Yang
memakai ada-ada ada tiga macam, yaitu yang nggigir sapi atau nggigir lembu;
yang ngadal meteng, dan yang ngeruwing. Sedangkan yang tidak memakai ada-ada,
ada dua macam. Pertama adalah yang nglimpa, dan kedua yang rata.
Dilihat dari konturnya atau bentuk
keseluruhannya, wilahan terbagi atas tiga macam, yakni yang mbambang atau nilam
upih atau anggodong pohung, yang mucuk bung, dan yang nyujen.
Sedangkan di tinjau dari kemiringan posisi
bilahnya terhadap garis ganja, dibagi tiga macam, yaitu yang condong, yang
leleh, dan yang mayat.
Yang leleh lebih miring ketimbang yang condong.
Sedangkan bilah keris yang mayat, adalah yang miring sekali.
GANJA adalah bagian bawah dari sebilah keris,
seolah-olah merupakan alas atau dasar dari bilah keris itu. Pada tengah ganja,
ada lubang untuk memasukkan bagian pesi. Bagian bilah dan bagian ganja dari
sebilah keris, merupakan kesatuan yang tak boleh dipisahkan. Beberapa pengamat
budaya keris mengatakan bahwa bagian-bagian itu melambangkan kesatuan lingga
dan yoni. Bagian ganja mewakili lambang yoni, sedangkan bagian bilah keris
melambangkan lingganya. Dalam budaya lama, persatuan antara lingga dan yoni merupakan
lambang kesuburan, kesinambungan, dan keabadian.
Bentuknya ganja sepintas lalu mirip dengan bentuk
tubuh cecak atau tokek tanpa kaki. Bagian depannya mirip kepala cecak dan
disebut sirah (kepala) cecak. Ujung sirah cecak, pada bagian yang agak meruncing,
disebut cocor. Di belakang Sirah cecak ada bagian ganja yang menyempit seperti
leher, lazim disebut gulu meled.
Begitu pula bagian perut dan ekor ganja,
sebutannya selalu dikaitkan dengan bagian tubuh cecak. Bagian 'perut' ganja
disebut wetengan, waduk, atau gendok, sedang bagian 'ekor' disebut buntut
cecak.Tepat di tengah waduk, ada lobang bergaris tengah kira-kira 0,8 cm untuk
jalan masuknya pesi keris. Pada keris buatan Palembang, lubang pesi ini lebih
lebar, yakni sekitar 1 cm. Lubang ini, di arah endas cecak dan arah kepet,
terdapat alur kecil, sebesar jarum, untuk tempat lalunya pantek atau sindik,
yang membuat ganja itu rapat dengan pesinya.
Pada keris-keris jenis nom-noman pada bagian
belakang ganjanya, persis di bawah wadidang, kadang-kadang dibuat tungkakan.
Ragam bentuk ganja ada beberapa macam, yakni
ganja Sebit Rontal, Mbatok Mengkurep, Wuwung, Wilut (Welut), Dungkul, Sepang,
dan Kelap Lintah. Ganja wuwung adalah bentuk ganja yang paling tua. Keris-keris
tangguh Segaluh, Pajajaran, dan Tuban kebanyakan memakai ganja wuwung.
KEMBANG KACANG, atau telale gajah, atau Sekar
Kacang adalah nama bagian yang bentuknya. Di Semenanjung Malaya, Brunei,
Serawak, Sabah, dan Palembang, Pontianak, serta Riau, bagian ini disebut
belalai gajah.
Tanda panah: Bagian yang disebut kembang
kacangKembang kacang, yang termasuk salah satu ricikan keris, ini selalu
menempel pada bagian atas dan bagian atas dari bagian gandik, pada bagian depan
sor-soran. Di bawah ketiak kembang kacang biasanya terdapat jalen. Di bawahnya
sering kali terdapat lambe gajah dan jalu memet.
Tidak semua keris mempunyai kembang kacang.
Banyak juga yang tidak. Keris yang tidak memakai kembang kacang disebut keris
ber-gandik polos, atau ber-gandik lugas.
Walaupun secara umum bentuknya sama, tetapi kembang
kacang mempunyai cukup banyak variasi bentuk, yaitu Nguku Bima,Pogok, Gula
Milir, Malik atau Kuwalik, Bungkem, Nyunti atau Nggelung Wayang, dan Gatra.
Kembang kacang yang patah atau putus, biasanya disebut pugut.
Dalam sejarah perkerisan, ricikan kembang kacang
baru ada setelah zaman Segaluh, dan baru sempurna bentuknya pada keris-keris
tangguh Jenggala. Keris tangguh Buda tidak ada yang memakai kembang kacang.
Keris-keris buatan Riau Kepulauan dan Semenanjung
Malaya pun mempunyai beberapa ragam bentuk kembang kacang. Di sana, ragam
bentuk kembang kacang yang disebut belalai gajah, ragam bentuknya terbagi atas:
Saing, Kuku Ala, dan Lidah Tiang.
Selain itu, walau pun bentuk dasarnya sama,
kembang kacang daerah satu tidak sama bentuknya dengan daerah satu dengan
lainya.
Sumber :